Kementerian Transmigrasi, Dr. Asnuryati, melalui CEO School ungkap konsep living the margins untuk menggali potensi lokal yang tersembunyi.
Mengapa harus pendekatan living the margins? Saat menyusun kebijakan yang inklusif, adil, dan kontekstual, perlu dilakukan pemahaman terkait realitas lokal secara mendalam.
Selain itu, identifikasi berbagai hambatan struktural dan sosial yang menyebabkan ketertinggalan tak lupa menjadi perhatian dalam konsep ini.
“Kita harus mendengarkan testimoni atau curhatan dari teman-teman di kawasan yang memang harus divalidasi” Ungkapnya saat menyampaikan materi pada CEO School Ekspedisi Patriot (28/07/2025).

Penggerak Swadaya Masyarakat Ahli Madya Kementerian Transmigrasi RI ini, pun menjelaskan bahwa hasil-hasil identifikasi ketertinggalan dan hasil secara eksisting, turut menjadi perhatian dalam menentukan intervensi yang tepat guna mewujudkan harapan ekosistem ekonomi yang terintegrasi.
Pendekatan living the margins merupakan salah satu konsep yang menggambarkan kehidupan masyarakat di wilayah transmigrasi
Pendekatan ini dijabarkan melalui empat aspek, termasuk aspek geografis, sosial, ekonomi, dan politik. Secara geografis, wilayah yang dianggap pinggiran umumnya memiliki lokasi yang jauh dari pusat pertumbuhan, ekonomi dan infrastruktur.
Sementara, aspek sosial dan ekonomi digambarkan pada kondisi keterbatasan akses pelayanan kesehatan, pendidikan, informasi, pasar dan modal.
Keterbatasan akses tersebut pun secara tidak langsung memengaruhi keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal maupun regional, sehingga suara mereka kerap tidak terwakili.

Berbagai praktek terbaik telah membuktikan potensi keberhasilan pendekatan “living the margins” di lapangan, seperti keberhasilan masyarakat Desa Rindu Hati, Bengkulu, dalam membentuk koperasi pertanian kopi lokal dan memasarkannya secara digital.
Keberhasilan implementasi konsep tersebut turut menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai nilai-nilai ekologi serta esensialnya upaya pelestarian lingkungan.
Kondisi ini, ditunjukkan dengan upaya penolakan wisata eksploitatif dan pembentukan komunitas pemandu lokal oleh masyarakat Adat Barelang, menjadi gambaran besar pemahaman mendalam terhadap konteks lokal dan pemberdayaan masyarakat dapat menghasilkan solusi inovatif dan berkelanjutan.
Keberhasilan implementasi konsep “living The Margins“ sangat bergantung pada peran tim yang diterjunkan ke lapangan. Tim ini diharapkan bersikap sebagai pembelajar dan fasilitator, bukan sekadar evaluator teknokratik, dengan mendengarkan dan memahami perspektif masyarakat setempat.
Para Peserta CEO School yang tergabung Tim Ekspedisi Patriot, juga harus siap bekerja di medan sulit. Menghadapi tantangan seperti medan berat, sinyal komunikasi lemah, dan minimnya fasilitas pendukung.
Ketangguhan mental dan keterbukaan terhadap perbedaan nilai serta budaya menjadi modal penting dalam berinteraksi dengan beragam komunitas.
Lebih dari itu, tim pun diharapkan mampu menjadi katalisator transformasi, hadir untuk membuka ruang kolaborasi dan inovasi di tingkat lokal, bekerja bersama warga sebagai mitra sejajar.

Hari pertama CEO School Ekspedisi Patriot yang digagas oleh Direktorat Pengembangan Masyarakat Agromaritim (DPMA) IPB University ini, berhasil membangkitkan semangat dan antusiasme peserta.
Peserta diajak memahami kompleksitas tantangan pembangunan mulai dari isu lahan, pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, hingga pentingnya pelestarian kearifan lokal, sebagai langkah awal untuk menjadi pemimpin yang adaptif dan berdaya saing di tingkat desa.

Comments are closed